Monday, August 3, 2020

FILM ADVOCATE

Judul     :     A Time To Kill

Tonya Hailey, gadis negro, 10 tahun umurnya, pada sore hari pulang dari toko klontong seorang diri berbelanja apa yang disuruh orang tuanya, dengan langkah yang santai pulang melalui jalan desa dengan pepohonan disisi jalan yang menambah indahnya sore hari itu. Bersamaan dengan itu lewatlah 2 orang pemuda kulit putih mengendarai mobil truck mini yang sedang mabok-mabokan meminum minuman keras, dan saat melihat anak perempuan 10 tahun seorang diri sedang berjalan lalu mereka mengganggu dan kemudian melumpuhkannyadan membawanya kelapangan lalu memperkosanya bergiliran, setelah memperkosa anak perempuan negro tadi di ikat, dipukuili dan digantungn di dahan tetapi dahannya patah kemudian ia masukan dalam mobil trucknya lalu dibuang di sungai, dan meninggalkanya, namun ternyata anak perempuan itu masih hidup, Tonya telah diperkosa dalam perjalanan pulang, dilukai habis-habisan dan hampir mati digantung 2 pria kulit putih yang mabuk.

Anak-anak negro lainnya menemukan belanja anak perempuan yang diperkosa dijalanan dan kemudian melaporkan kepada orang tuanya, bapak anak perempuan itu berkeja sebagai buruh pabrik dihubungi oleh isterinya lalu pulang kerumah menjumpai anak nya dalam keadaan sekarat.

Para pemuda pemerkosa meninggalkan bukti sepatu anak perempuan negro tersebut di belakang bak truck sehingga kedua pemuda  kulit putih itu ditangkap dan berselang beberapa hari, Carl Lee Hailey (Samuel Jackson), Bapak korban, dengan M16 di tangan beringas bercampur dendam memberondong dua perogol anaknya saat sedang dikawal polisi menuju ruang tahanan. Kedua tersangka tewas dengan tubuh tercabik. Masing-masing berbagi 20 lebih peluru di tubuh. Juga seorang deputy, yang mesti kehilangan kaki, karena kebagian pelor nyasar.

Sebuah pembunuhan berencana menggunakan senapan serbu ilegal yang menghasilkan dua mayat, ditambah seorang aparat yang kakinya harus diamputasi, plus TKP berlangsung di sebuah kota kecil di Mississippi yang masih berlaku rasis terhadap warga berkulit legam, otomatis akan mudah memunculkan satu tanya : adakah harapan lain bagi sang Ayah yang ingin membalas dendam harus dibayar dengan vonis mati.

John Grisham, si penulis Novel menyerahkan tugas mustahil membela si pesakitan kepada tokoh utamanya, seorang pengacara muda lokal kulit putih bernama Jake Brigance.

"A Time to Kill" adalah perkenalan 'tuntas' pertama saya dengan Grisham, setelah berulang kali gagal menutup tamat novel-novelnya yang lain. 906 halaman cetakan keempat Gramedia selesai dalam satu minggu.

Karya yang telah diadaptasi ke layar lebar (1996) dengan judul yang sama ini adalah debut Grisham tahun 1988, yang lucunya baru terkenal setelah novel kedua miliknya, The Firm, laris manis di pasar Amerika. "16 agen langsung menolak," curhat si penulis di kata pengantar, "plus belasan penerbit, ketika novel ini pertama kali ditawarkan naik cetak."

Banyak alasan bagus menempatkan novel ini sebagai karya yang lengkap. Sejak awal memulai, pembaca dilibatkan pada masalah hukum yang pelik namun dengan cara bercerita yang tidak terlalu "membebani" walau banyak diisi hal-hal teknis dunia peradilan. Tidak melulu serius dan mencekam, beberapa kali lawakan cerdas pun terselip dengan pas.

Grisham, yang juga seorang praktisi hukum berpengalaman, tentu lancar saja mendeskripsikan suasana ruang sidang beserta intrik para tokoh di kehidupan sehari-hari sebagai seorang manusia biasa.

Satu hal paling menarik dari novel yang terinspirasi dari kisah nyata ini adalah maksud yang ingin disampaikan Grisham perihal apa itu kebenaran, keadilan dan konsep-konsep luhur lain yang ingin diperjuangkan dengan menggunakan hukum sebagai alat utama beserta seluruh perangkatnya; hakim, juri, pengacara, undang-undang, bukti, saksi..

Vonis pembunuhan berencana yang harusnya mudah saja diputuskan para juri melihat lengkapnya bukti dan kesaksian yang tersaji, berubah menjadi permasalahan relatif yang berkepanjangan dan meluas ke seluruh penjuru negeri. Carl Lee Hailey jelas bersalah merencanakan pembunuhan keji, namun apakah kedua pria yang memperkosa dan menyiksa anak perempuannya sampai nyaris mati masih layak mendapat hak hidup?

A Time to Kill tidak menetapkan siapa pihak yang total benar dan siapa yang salah sejak awal hingga akhir. Salah atau benar di dalam ruang sidang bukan perkara 1+1=2. Semua bisa ditentukan oleh apa saja.

Bukti-bukti yang diatur sedemikian rupa untuk merangsang emosi pengadilan, masa lalu saksi ahli yang ikut-ikutan saling "ditelanjangi", hingga kualitas membual para pembela di hadapan 12 juri, adalah dasar yang akan menentukan apakah seorang terdakwa masih layak melanjutkan hidup atau diputuskan mesti mati demi kebenaran hukum.

Jake Brigance yang jadi protagonis juga bukan gambaran pengacara baik-baik yang berbicara dan bertindak dengan bersih. Seperti halnya jaksa penuntut yang menjadi lawannya, Rufus Buckley, Brigance juga sesekali berlaku kotor. Brigance pun seperti rela mengorbankan apa saja, harta, keluarga bahkan jiwanya demi maju menerjang memenangkan kasus ini dan semuanya tentu bukan didasari alasan tulus ikhlas. Ia narsis, mendambakan publisitas luas dan berkhayal tentang limpahan uang yang akan dia dapat seandainya berhasil membebaskan Carl Lee.

Di tengah keputusan akhir yang diserahkan kepada 12 juri awam berlatar belakang warga sipil, sebenarnya sistem peradilan yang digambarkan dalam cerita ini pun tidak lebih baik dari pengadilan jalanan. Hasil akhir yang diidealkan objektif menjadi kabur karena bukti autentik yang dipaparkan saksi ahli melebur baur dengan sentimen dan purba sangka pribadi masing-masing pengadil.  Jadi bukan, kisah novel ini sama sekali bukan perulangan tema demokrasi debeliratif di mana para juri berdebat dengan logis seperti dalam film "12 Angry Men".

Jadi cukup masuk akal jika hal tersebut menjadi dasar bagi Brigance untuk sesekali melenceng dari etika dan aturan hukum yang wajib ditaati. Toh kebenaran itu, seperti kata Hitler, adalah hal apa pun yang bisa kau bela dan pertahankan dengan cara yang meyakinkan hingga orang lain mau percaya.

Mirip dengan ungkapan ironi ini: untuk mencapai kedamaian terkadang dibutuhkan perang. Maka juga dalam proses menuju kebenaran, kecurangan mau tidak mau mesti diberi ruang. Tidak benar jika kebenaran bisa bermula dan mencapai titik akhir melulu dengan cara yang 'benar'.

Kebenaran adalah perkara mencampurkan antara adil dan batil dalam takaran yang pas.

Dalam perjalananan melakukan pembelaan ini, sang pengacara banyak mendapat cemoohan dari orang kulit putih yang diejek sebagai pencinta negro, dan bahkan temannya menyarankan mundur dari kasus ini, bahkan isterinya juga tidak mendukungnya sehingga pembelaannya dilanjutkan dan membahayakan anak perempuan dan isterinya, lalu anak dan isterinya dipulangkan kerumah neneknya agar aman dan tidak membahayakan keluarga.

Bahkan Para tokoh kulit hitam turut menyangsikan pembelaan pengacara yang berkulit putih, dan berencana untuk mencarkan pengacara sendiri untuk membelanya, namun orang tua anak negro yang diperkosa itu tidak mau dan tetap mempertahankan pengacara lokal tersebut.

Kasus ini dipegang oleh Jaksa yang antusias dan ditakuti, sehingga persidangan menjadi sangat bermutu, namun kasus ini memicu diskriminasi perbedaan kulit hitam dan kulit putih semakin meruncing, nah....bagaimana akhir kisah ini, dapat anda download film nya dengan link dibawah ini.

Dan ingatlah, bahwa ada kesimpulan yang dapat kita tarik dalam film ini, adalah pengadilan bukanlah tempat untuk mencari kebenaran tetapi tempat untuk mencari keadilan.
 

Sumber :
https://www.kompasiana.com/ardiewinata/5b9c9513aeebe12fc96d5485/sinopsis-a-time-to-kill-kebenaran-adalah-adil-batil-dalam-takaran-yang-pas?page=all



Atau

No comments:

Post a Comment

Popular Posts